Kadangkala, dan bahkan sering terjadi, saya mendengarkan atau membaca tulisan orang dengan tingkatan bahasa yang berbeda-beda. Contoh kasus, akan sangat berbeda bahasa yang digunakan oleh khatib di masjid kampus dengan masjid di perkampungan. Khutbah Jum?at di masjid kampus tentu saja menggunaan bahasa yang tinggi, karena konsumennya adalah ?intelektual?. Lain halnya dengan masyarakat di perkampungan (meski kadang khutbahnya pernah sekali waktu menggunakan bahasa Arab dari awal hinga akhir), khatib cukup membaca satu atau dua ayat, lalu menerangkan apa kandungan ayat tersebut. Cukup. Tak seperti di masjid kampus, yang kadang membuat saya terheran-heran, ayat yang biasa-biasa saja menjadi luar biasa dengan penafsiran yang aneh-aneh oleh khatib (dan tentu saja dengan menggunakan bahasa yang super high class tadi.
Contoh lain, ketika kita mendengarkan pejabat Republik Indonesia (bukan Republik Mimpi) berbicara di depan publik, atau ketika kita ikut suatu seminar misalnya. Saya bahkan kadang berpikir untuk perlu membawa kamus istilah rasanya pada saat-saat seperto itu.
Saya lebih suka mendengarkan dan menggunakan bahasa yang sederhana, gak neko-neko dan bisa dipahami oleh teman-teman saya. Saya bersyukur, ketika pulang ke Solo lebaran kemarin, teman-teman seperjuangan dulu masih tetap sama seperti 3 setengah tahun yang lalu. Masih khas ala Honggowongso 94 tahun 2003.
Tentu saja hal ini ada alasannya (mengapa lebih suka bahasa yang lugu). Pertama, saya tak perlu pusing dan membuat orang lain pusing dengan apa yang saya kemukakan. Kedua, meminimalkan sedikit mungkin salah paham yang mungkin saja terjadi. Ketiga, saya tentu saja tak perlu repot-repot membawa kamus istilah yang imut itu.
Aplikasinya, kadang saya pusing ketika membaca postingan di blog yang cukup ilmiah (atau sangat barangkali), yang mungkin oleh penulisnya hanya disebut sebagai sebuah pendobozan atau sekedar dongeng (halo Om). 🙂
yang penting tau kapan dan dimana kita perlu ngomong pake bahasa intelek/awam.
* loh ini comment pertama?
sama… gua juga risih denger istilah2 aneh begitu… ga ngerti… dan biasanya kalo ga ngerti gua bilang ga ngerti… daripada sok tahu, hehehe….
betul tuh mas. tapi kalo semua memakai bahasa tingkat awam, kasihan juga para orang pinter tuh! iya ngga? 😀
saya juga kadang suka bingung, ini orang ngomong apa sih… saya ngga ngerti pake istilah2 keren segala. pake gaya bahasa yang standar toh, barangkali tidak akan mengurangi tampang intelektualnya kan…
Oke deh..
*Loh.*
@ sandy
ya, yg pertamaxxxxx 🙂
@ rime
daripada cuman manggut2 ya 🙂
btw, kita kan gag boleh ngomong waktu khutbah jum’at 🙂
@ bangsari
ya biar mereka ngomong sesama mereka aja 🙂
@ gaussac
yup, rite 😀
@ Tyo
Oke jugak
Yup….!!!
setuju…setuju ma pendapatnya…eh btw emang luthfi punya kamus imut tentang istilah2 intelek yang “aneh”??hehehe…..
(beli dimanaa??)
ndak papalah selama masih memakai bahasa manusia… 😛
sama dong, aku juga sering susah nangkep bahasa2 orang2 intelek.
gimana kuliahnya Fi?
Pernah nyoba sok-intelek, tapi malah pusing sendiri. Saya kira, orang intelek justru adalah orang yang bisa berbicara dengan berbagai jenis kalangan.
@ Rena
dulu iya, skrg kamusnya lagi di rumah 🙂
@ bagonk
he he he ….. bahasa manusia yang susah
@ ely
alhamdulillah kuliahnya lancar.
Pangestunipun mbak 🙂
@Donny
mungkin dari satu sisi benar … tergantung darimana kita menilainya 🙂
Luth, bahasa orang awam tuh yang gimana ?
Lah wong aku ama anakku aja susah kalo sms-an
g mo ket4 tmn btr
opo kareppe yak ?
@ Om Rovicky
wah yen itu transletannya : aku mau ke tempat temanku. Kalau itu mah bukan bahasa intelek, tapi bhs gawul.
Kesimpulannya : Om perlu gawul *lho*
komen-ne okeh banget 🙂
bahasaorang awam?
*gak tahu mode on*
@ Om Bahtiar
Terima kasih atas ilmunya selama ini 🙂
@ Lynn
iya, bahasa yang digunakan oleh masyarakat kebanyakan 🙂
lah?
cah Solo to kang?
podo!!
Solo kota, dudu “Solo-Solo”-an.. 😀
@ Zam
Rumah : Colomadu Regency 😀
SIM : Mangkubumen – Banjarsari
sederhana saja kang luithfi. Soalnya, kalau di kampus-kaampus itu, orang intelek atau pinter itu yang suka nyebutin istilah aneh-aneh….pake is is atau si si dibelakangnya.
Coba kalau kiai kampung disuruh ke UGM, dan berbicara tanpa is is atau si si…pasti gak akan dibilang intelek, pinter…. dan kayaknya para mahasiswa juga akan ngacir semua….
“ngapain dengerin pembicara gak mutu,: mungkin gitu pikirnya.